Home / Bali / Diskusi Kelompok Terfokus di Tulamben: Sebuah Laporan Naratif Menuju Pengelolaan Kawasan yang Lebih Baik

Diskusi Kelompok Terfokus di Tulamben: Sebuah Laporan Naratif Menuju Pengelolaan Kawasan yang Lebih Baik

Pertumbuhan ekonomi tanpa diiringi dengan rencana pengelolaan yang tepat tentunya akan menghasilkan dampak negatif terhadap sumberdaya pesisir dan laut yang menjadi ‘aset’ utama bagi pertumbuhan tersebut.

Latar Belakang

4Melalui program Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali (Marine Rapid Assessment Program atau MRAP) yang dilaksanakan pada tahun 2011, kawasan perairan di sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Karangasem diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang tinggi. Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut Karangasem merupakan ‘aset’ penting bagi pembangunan daerah, yang pemanfaatannya didominasi oleh aktivitas perikanan tangkap maupun budidaya, serta aktivitas pariwisata dan lalu lintas laut yang sangat bergantung kepada jasa lingkungan.

Desa Tulamben yang berada di wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, telah berkembang menjadi salah satu destinasi wisata bahari utama di Pulau Dewata. Dari sekitar tujuh situs penyelaman di Tulamben, situs tempat karamnya USAT (United States Army Transport) Liberty merupakan destinasi utama bagi para wisatawan/penyelam nusantara maupun mancanegara: diperkirakan dikunjungi oleh tak kurang dari seratus penyelam setiap harinya selama periode musim wisata tinggi (high season).

Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Karangasem tahun 2013-2014 menyatakan bahwa Desa Tulamben dikunjungi oleh sekitar 70.000 wisatawan setiap tahunnya. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Coral Reef Alliance (CORAL) dan Yayasan Reef Check Indonesia (YRCI) pada tahun 2013 menunjukkan perputaran ekonomi yang mencapai USD10 juta, yang sebagian besar berasal dari sektor pariwisata –yang telah berkembang menjadi penunjang utama perekonomian masyarakat lokal di Tulamben.

Pertumbuhan ekonomi tanpa diiringi dengan rencana pengelolaan yang tepat tentunya akan menghasilkan dampak negatif terhadap sumberdaya pesisir dan laut yang menjadi ‘aset’ utama bagi pertumbuhan tersebut. Berbagai bentuk pengelolaan yang memungkinkan untuk diterapkan telah diidentifikasi dalam upaya untuk mendukung keberlangsungan nilai ekologi, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Bentuk pengelolaan tersebut diantaranya adalah sebagai kawasan strategis pariwisata, kawasan konservasi dan cagar budaya bawah laut. Diperlukan sebuah upaya kolaboratif dan terintegrasi untuk mendorong masing-masing inisiatif tersebut agar mampu menjawab tantangan pengelolaan kawasan di Tulamben yang mampu mendukung aktivitas pariwisata, perikanan maupun budaya, sehingga potensi konflik antar pengguna sumberdaya dapat dihindari.

Jalannya Kegiatan: Sesi Presentasi

Kegiatan diskusi kelompok terfokus bertajuk “Isu dan Strategi Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Pesisir dan Laut Tulamben” ini difasilitasi secara bersama-sama oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Karangasem, Pemerintah Desa Tulamben, Conservation International (CI) Indonesia, CORAL dan YRCI, yang diselenggarakan di Ruang Pertemuan Kantor Desa Tulamben pada tanggal 11 September 2014. Kegiatan ini, selain tentunya dihadiri oleh masyarakat Desa Tulamben dan perwakilan pemerintah kabupaten, juga dihadiri oleh beberapa pihak –baik itu sebagai individu maupun perwakilan dari instansi tertentu, yang berasal dari luar Karangasem, seperti; Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana (Puslit Budpar Unud), dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali (BPCB) – Kabupaten Gianyar.

1Dalam pembukaannya Kepala Desa Tulamben, I Nyoman Ardika, menegaskan bahwa memang ada ketergantungan yang sangat besar khususnya dari aktivitas pariwisata di Tulamben dan oleh karenanya dibutuhkan masukan dan upaya dari berbagai pihak untuk mengembangkan pengelolaan kawasan yang tepat agar sumberdaya yang ada bisa memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi masyarakat lokal. Sesi pembukaan dilanjutkan dengan sambutan dari I Wayan Purna, S.Sos., M.Si., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kabupaten Karangasem. Dalam sambutannya tersebut, Kadisbupdar Kabupaten Karangasem memaparkan bahwa kegiatan pariwisata di Desa Tulamben memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah –berada di urutan kedua setelah Pura Besakih, sehingga tantangannya di masa yang akan datang tentunya berkaitan erat dengan pengelolaan kawasan –khususnya aktivitas pemanfaatan melalui sektor pariwisata, secara berkelanjutan yang melibatkan masyakarat secara aktif.

Pemaparan dari I Nyoman Ardika dan I Wayan Purwa, S.Sos., M.Si., tersebut secara jelas menegaskan tujuan dari diselenggarakannya Kegiatan ini, dan segera dilanjutkan dengan sesi presentasi. Presentasi pertama disampaikan oleh Kepala Bidang (Kabid) Tata Ruang Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Karangasem, I Nyoman Siki Ngurah, ST., MT., yang menekankan bahwa diperlukan kesesuaian dan pengaturan antara pengelolaan kawasan di Desa Tulamben dengan kebijakan tata ruang secara lebih terperinci untuk selanjutnya ditentukan langkah-langkah apa yang perlu dilaksanakan. Beliau juga menambahkan bahwa dalam konteks kebijakan tata ruang, Tulamben termasuk sebagai Kawasan Strategis Provinsi maupun Kabupaten untuk kegiatan pariwisata, maupun kelautan dan perikanan, serta sebagai Kawasan Lindung dalam rancangan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) Kabupaten Karangasem.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Tenaga Ahli Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Cipto Aji Gunawan. Dalam kesempatan kali ini, Cipto menuturkan pesatnya perkembangan pariwisata di Desa Tulamben –yang pertama kali dikunjunginya pada tahun 1990-an, hingga belakangan ini berkembang menjadi salah satu titik penyelaman yang paling ramai di Indonesia. Selaras dengan paparan dari Kabid Tata Ruang Bappeda Kabupaten Karangasem, Cipto Aji Gunawan menjabarkan bahwa sebagai upaya untuk menanggulangi dampak terhadap sumberdaya pesisir dan laut Desa Tulamben, diperlukan suatu intervensi yang bersifat kolaboratif melalui, misalnya; pembatasan investasi maupun pengunjung. Beliau juga mengemukakan contoh perkembangan pariwisata di daerah Bali selatan yang tidak terkendali sehingga malah menimbulkan stres dan mengurangi kenyamanan dari para wisatawan itu sendiri. Di akhir pemparan, beliau berpesan agar pengembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem hendaknya tidak melulu berpatokan pada target pendapatan daerah.

I Wayan Kariasa selaku Sekretaris Badan Pimpinan Cabang Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPC PHRI) Karangasem dalam sesi presentasi selanjutnya memaparkan kondisi persaingan investasi pariwisata, khususnya wisata selam, di Karangasem yang masih didominasi oleh orang asing. Beliau menegaskan diperlukannya sokongan untuk meningkatkan kapasitas bagi pelaku wisata lokal, yang didukung oleh aturan yang jelas untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan pariwisata di Karangasem. Sebagai penutup sesi presentasi, Kadisbudpar Kabupaten Karangasem, I Wayan Purna, S.Sos., M.Si., kembali menegaskan bahwa sektor pariwisata merupakan kontributor yang signifikan (terbesar kedua setelah sektor pertambangan) bagi pendapatan daerah Kabupaten. Beliau berharap bahwa pertumbuhan jumlah kedatangan (wisatawan, red.) akan berkorelasi positif terhadap pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan oleh karena itulah dibutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak untuk membangun Desa Tulamben sebagai destinasi wisata yang berkelanjutan atau sustainable.

Jalannya Kegiatan: Sesi Diskusi

2Sesaat setelah Sesi Diskusi dimulai, Kepala Puslit Budpar Unud, Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., Ph.D., menyatakan bahwa pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang diinisiasikan melalui sebuah kepemimpinan yang kuat akan menentukan kesuksesan pengelolaan kawasan, seraya menjabarkan bahwa kunci pokok dalam pengelolaan adalah destinasi, industri, pemasaran dan kelembagaan. Bapak Nyoman Kariasa selaku Bendesa Adat Tulamben menanggapi bahwa pengelolaan hingga saat ini masih dilakukan secara sederhana oleh masyarakat, namun upaya-upaya perlindungan kawasan Tulamben sendiri telah dilakukan sejak tahun 80-an, yang salah satu capaiannya adalah kesepakatan terkait dengan larangan penangkapan ikan hingga jarak 100m dari bibir pantai.

Seiring perkembangan dalam Sesi Diskusi yang semakin terfokus, partisipasi dari para Peserta Kegiatan semakin mengerucut kepada tema pengelolaan kawasan, yang lalu ditanggapi oleh I Nyoman Degeng selaku Kepala Dusun Tulamben. Beliau menuturkan bahwa Tulamben telah menjadi destinasi wisata semenjak tahun 1975, lalu menambahkan bahwa meskipun terdapat beberapa situs penyelaman di Desa Tulamben, namun biar bagaimanapun USAT Liberty semenjak dulu hingga sekarang tetap menjadi destinasi penyelaman utama bagi para pengunjung. Upaya-upaya pengelolaan kawasan –meskipun masih dalam skala yang terbatas dan spesifik, sudah dilakukan sejak lama yang ditandai dengan dibentuknya organisasi buruh-angkut (porter, red.) “Sekar Baruna” pada tahun 1981. Nyoman menjabarkan beberapa isu-isu yang dialami Tulamben terkait aktivitas pariwisata khususnya terkait dengan infrastruktur yang masih terbatas, yang tentunya berkaitan erat dengan upaya-upaya pengelolaan secara lebih baik; terutama untuk mengurangi tekanan terhadap ‘aset’ pariwisata Desa Tulamben.

Komang Aryawati dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan (DPKP) Kabupaten Karangasem menegaskan pendapat dari Kepala Dusun Tulamben bahwa harus ada sinergi antara aktivitas pemanfaatan pariwisata dan perikanan, yang segera ditanggapi oleh Dr. Drs. I.B.G. Puja Astawa, MA., dari Puslit Budpar Unud. Beliau mengemukakan bahwa diperlukan suatu bentuk lembaga yang mampu mendorong pengelolaan pariwisata di Desa Tulamben secara terintegrasi, yang mampu mengakomodasi keterwakilan dari masing-masing pemangku kepentingan yang ada.

I Nengah Putu, Ketua Organisasi Dive Guide Tulamben (sebuah entitas profesional kolektif yang baru saja terbentuk, red.) menjabarkan beberapa kebutuhan terkait dengan infrastruktur dan kebijakan yang diperlukan untuk mengelola kawasan Desa Tulamben secara lebih baik, sembari memberikan masukan agar kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem hendaknya tidak melulu berorientasi kepada target tinggi Pendapatan Asli Daerah yang dibebankan kepada destinasi wisata. I Made Sudarma dari Majelis Alit Desa Pekraman menegaskan pendapat dari I Nengah Putu dengan menyatakan bahwa pengelolaan kawasan, yang dilandasi oleh peraturan yang jelas, adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak demi keberlanjutan industri pariwisata, dan dalam prosesnya (perencanaan pengelolaan kawasan, red.) mesti mengakomodasi tidak hanya aspirasi dari komponen masyarakat di Desa Tulamben, namun juga masyarakat di Kecamatan Kubu, terutama masyarakat adatnya.

3Kondisi umum serta beberapa usulan untuk mengurangi tekanan terhadap situs USAT Liberty dikemukakan secara simultan oleh Komang Amiek dan Gde Yadnya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya, serta Nyoman Suastika dari Organisasi Dive Guide Tulamben. Nyoman Suastika menuturkan bahwa sudah ada upaya-upaya yang dilaksanakan untuk mendistribusikan jumlah penyelam (sehingga diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap situs USAT Liberty, red.) melalui transplantasi terumbu karang di beberapa situs penyelaman di Desa Tulamben, seraya menambahkan pentingnya keberadaan penyelamat pantai (lifeguard) yang idealnya ditempatkan berdekatan dengan situs-situs penyelaman di sana.

Manajer Program Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali dari CI Indonesia, I Made Iwan Dewantama, menuturkan bahwa Kegiatan ini merupakan sebuah awalan yang bertujuan untuk mengidentifikasi persoalan dan solusi yang mungkin terkait dengan pengelolaan kawasan, yang nantinya diharapkan untuk dielaborasi lebih mendalam agar solusi yang tepat, yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dapat diperoleh, seraya menambahkan pentingnya suatu wadah untuk pengelolaan kawasan. Menimpali wacana mengenai pembentukan suatu wadah pengelolaan kawasan, I Wayan Purna, S.Sos., M.Si dari Disbudpar Kabupaten Karangasem menyatakan kemungkinan dibentuknya sebuah lembaga atau koordinasi pengelolaan antar pemangku kepentingan, dengan difasilitasi oleh Kepala Desa dan bekerjasama dengan masyarakat adat, LSM dan para mitra lainnya, dan berkoordinasi dengan aparatur pemerintah adat dan kecamatan.

Perwakilan dari Bappeda Kabupaten Karangasem, I Nyoman Siki Ngurah, ST., MT., menuturkan bahwa aspek keruangan dari pengelolaan kawasan di Tulamben dan desa-desa di sekitarnya akan lebih dipertegas melalui arahan zonasi. Pembentukan lembaga atau badan pengelola dapat dilakukan secara bertahap dan mesti terdiri atas perwakilan dari semua pemangku kepentingan yang ada. Beliau juga mengharapkan bahwa isu-isu yang telah dikemukakan dalam Kegiatan ini dapat dikemukakan juga melalui mekanisme perencanaan yang sudah ada, seperti misalnya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). I Wayan Kariasa dari BPC BHRI Karangasem dan Cipto Aji Gunawan mengamini bahwa keterwakilan (dari pemangku kepentingan, red.) dan payung hukum merupakan dua hal yang sangat penting dalam proses pembentukan badan pengelola.

Memasuki akhir dari Sesi Diskusi ini, Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., Ph.D. menambahkan bahwa Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (Riparda) sebagai salah satu instrumen pengelolaan pariwisata yang penting, yang membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah agar dokumen tersebut dapat diimplementasikan dengan semestinya. Menutup Sesi Diskusi, I Wayan Purna, S.Sos., M.Si. kembali menekankan peran penting dari badan pengelola, terutama sebagai mitra dalam melaksanakan program pemerintah, dan memastikan bahwa program tersebut dilaksanakan dengan tepat.

Kesimpulan dan Rencana ke Depan

Melalui Kegiatan ini, antusiasme yang ditunjukkan oleh para Peserta berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan pariwisata yang sifatnya cukup mendesak agar segera diberikan solusi. Selain itu, Diskusi Kelompok Terfokus kali ini juga menyiratkan upaya-upaya yang mesti dilaksanakan dalam waktu dekat, yang kesemuanya terfokus kepada proses pembentukan sebuah entitas kolektif pengelolaan kawasan. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang dihasilkan:

  • Beberapa kebijakan telah dibentuk untuk pengelolaan Tulamben (seperti misalnya Kawasan Strategis Pariwisata, Cagar Budaya dan Kawasan Konservasi). Namun demikian, belum ada sistem pengelolaan yang terintegrasi yang bisa diimplemetasikan oleh para pihak di lapangan;
  • Kelangsungan aktivitas pariwisata di Desa Tulamben sebagian besar bergantung kepada situs USAT Liberty, yang terancam rusak akibat tekanan dari aktivitas pariwisata, khususnya wisata selam, yang belum diatur. Oleh karenanya diharapkan adanya suatu bentuk intervensi baik dari sisi teknologi maupun manajemen yang mampu memperpanjang waktu keberadaan dari situs kapal karam tersebut;
  • Diperlukan tambahan fasilitas pendukung dan juga upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas dari para pelaku pariwisata, agar mereka mampu berkontribusi dan menjamin kenyamanan dan keamanan wisatawan yang berkunjung ke Desa Tulamben;
  • Diperlukan suatu “Lembaga Payung” yang memiliki keterwakilan cukup dari para pemangku kepentingan, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan kawasan pariwisata di Desa Tulamben dengan keterlibatan aktif dari masyarakat setempat.

Komentar

Komentar

x

Check Also

(English) Ocean20: A New Self-Funded Marine Resource Management Framework

Halaman tidak ditemukan. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language. Initiative launched at O20 summit with up to USD $1.5 million funding commitment from Green Climate Fund to develop Blue Halo S ...

Powered by Dragonballsuper Youtube Download animeshow