REDAKSIBALI.COM – Kita sepatutnya melihat Indonesia bukan hanya sebagai apa yang ada di tanah air melainkan apa yang sedang terjadi di tanah air. Inilah paradigma atau cara pandang ekologis.
Ini artinya, ketika kita sedang jalan-jalan menikmati pertanian atau kemaritiman maka cara pandang yang kita gunakan adalah bukan apa yang ada di situ (yang indah, instagramable, bagus buat selfie, dan sebagainya) melainkan apa yang sedang terjadi di situ (proses pertukaran energy dengan pola yang sangat teratur dari berbagai komponen ekosistem sebagai bentuk perimbangan alam atau istilahnya homeostasis).
Jadi, dibalik yang indah dan instragramable itu ada suatu proses yang kompleks di dalamnya, bayangkan saja bagaimana alam melakukan perimbangan yang teratur dalam hubungan antara air, oksigen, cahaya, panas, tanaman hijau, hewan mikroskopis, serangga, dan ikan di suatu telaga dan kembangkan imajinasi ini pada tingkat yang lebih luas; manusia, tanah, air.
Hal itu diungkapkan Ignatius Sonny Wyarso Amiluhur saat Peluncuran Youth Conservation Initiative Conservation International Indonesia di Desa Budaya Kertalangu Denpasar, hari Selasa (27/8) yang diinisiasi Conservation International Indonesia.
Lebih lanjut Sonny memaparkan cara pandang ekologis memberikan suatu pandangan yang berbeda; bahwa ada saling ketergantungan antara kebudayaan dan lingkungan hidup dalam bentuk pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara kebudayaan.
Cara pandang ini memberikan satu pendekatan yang disebut dengan ekologi budaya. Misalnya, rumah orang Eskimo yang disebut dengan iglo (terbuat dari balok-balok es) dapat dibilang adalah alat kebudayaan yang penting untuk hidup di tengah iklim kutub Utara. Juga sawah di Bali sangat erat sangkut pautnya dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan bentuk pelapisan masyarakat.
Sony menyimpulkan ketika ingin melihat aspek adaptasi dari suatu masyarakat terhadap suatu geografi tertentu maka juga harus dilihat bagaimana adaptasinya dari sisi kebudayaannya. Jadi, antara kebudayaan dan lingkungan adalah satu kesatuan. Dari cara pandang ekologi budaya ini maka kita bisa lihat bahwa kata tanah air sebenarnya juga mengandung suatu pesan menyejarah – suatu proses kesinambungan dari proses dinamika keterhubungan kebudayaan dan lingkungan dari masa lalu yang membentuk masa kini, dan masa kini yang mengandung masa depan buat generasi-generasi di masa mendatang.
Dihadapan hadirin yang rata-rata masuk generi Z, yang saat ini masih mengenyam pendidikan di bangku SMP, SMA dan mahasiwa, Sonny bercerita ketika Indonesia menerima pengakuan kedaulatan pada 1949, Bung Hatta sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam pidato penutup Konferensi Meja Bundar menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak saja ingin hidup sebagai bangsa yang membela kemanusiaan, demokrasi dan persaudaraan hanya dalam konteks sebagai Negara Hukum saja melainkan sebagai Negara Peradaban. Konsep negara peradaban menurut Bung Hatta ini bukan hanya menjadikan masyarakat dan rakyat Indonesia menjadi industrial modern saja. Pada Kongres Kebudayaan II pada 1951 Bung Hatta memperkenalkan kewajiban Indonesia sebagai negara peradaban
“Manusia yang biadab takluk semata-mata kepada alam….manusia yang adab adalah pembangun kebudayaan. Kebudayaan timbul karena perjuangan buat hidup dan untuk mencapai penghidupan yang lebih sempurna. Dan karena itu, kewajiban peradaban ialah memperbaiki bumi dan meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik bagi angkatan yang akan datang.” kata Sonny menyitir pendapat Bung Hatta
Sonny menganggap apa yang diungkapan Bung Hatta sebagai catatan penting karena untuk pertama kalinya secara politik aspek lingkungan didekati dengan pendekatan konsep konservasi atau pelestarian.
Menurut Sonny ini bisa dilihat ketika Bung Hatta menegaskan kalimat ‘memperbaiki bumi dan meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik bagi angkatan yang akan datang’. Pelestarian bukan berarti ‘pengawetan’ melainkan mengandung tiga aspek, yaitu perlindungan, pengembangan dan manfaat. Jadi, konsep pelestarian adalah konsep yang sangat penting dalam melihat apa yang sedang terjadi di tanah air.
Sonny memberi gambaran di banyak belahan dunia ditemukan berbagai peninggalan monumen-monumen besar dari peradaban yang sudah hilang. Ukuran monumen-monumen itu menandakan kebesaran peradaban yang membangunnya, Namun jejak para pembangunnya itu hilang, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan orang-orangnya.
Diinformasikannya pula sudah banyak reruntuhan misterius ini diperkirakan sebagian disebabkan oleh bencana ekologis; Orang-orang yang membangun dengan peradaban tinggi itu entah sengaja atau tidak menghancurkan sumber daya lingkungannya.
Menururtnya ini adalah suatu tindakan ecocide atau bunuh diri ekologis yang bukti-buktinya sudah ditemukan oleh para ahli arkeologi, ahli klimatologi, ahli sejarah, dan ahli-ahli lainnya. Para ahli ini menemukan proses-proses perusakan lingkungan di masa lampau dalam beberapa kategori; penggundulan hutan dan penghancuran habitat; masalah tanah seperti erosi, penggaraman, dan hilangnya kesuburan tanah.
Masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, penangkapan ikan berlebihan; efek spesies yang didatangkan terhadap spesies asli, pertumbuhan penduduk, peningkatan dampak pendapatan per kapita manusia.
Yang menarik menururt Sonny adalah ada beberapa peradaban yang tetap bertahan dan ada yang runtuh karena ecocide. Peradaban Indonesia yang sumber tertulis sejarahnya dapat ditemukan adalah prasasti sekitar tahun 500-an dan sampai hari ini masih eksis.
Kepada hadirin Sonny bertanya, “Lalu apa yang membuat peradaban Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang?”
Menurtnya, salah satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana suatu masyarakat melalui kebudayaannya menanggapi masalah-masalahnya termasuk masalah lingkungan.
Ada peradaban-peradaban yang gagal menanggapi masalah-masalahnya yang berakibat keruntuhan peradaban itu, namun ada peradaban yang cepat tanggap dalam menghadapi masalahnya.
Kearifan dan kebijaksanaan para leluhur Indonesia yang memiliki adi budaya yang tinggi secara tepat merumuskan suatu konsep untuk menghadapi masalah yang timbul dari keanekaragaman kebudayaan dan lingkungan di Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa – berbeda-beda tapi satu juga karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Sonny menjelakan Konsep ini telah berkembang dari konsep dasarnya yang menyandingkan dua agama besar pada masa Majapahit menjadi semboyan persatuan bangsa kemudian menjadi filosofi yang mendasari hubungan antara kebudayaan dan lingkungan dalam negara peradaban.
Dengan konsep ini, tanah air diperlakukan dengan perimbangan sedemikian rupa yang membuat peradaban Indonesia tetap ada. Misalnya pada sistem pertanian. Setiap bentuk pertanian sebenarnya adalah upaya untuk mengubah ekosistem tertentu agar menjadi sumber daya bagi manusia.
Sistem persawahan mencapai hal ini dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sedangkan sistem perladangan dengan cara meniru alam sekitarnya. Pada dua sistem ini terjadi persesuaian sistematis antara ekosistem yang dibuat manusia dengan ekosistem yang bebas dari campur tangan manusia. Di dalam sistem-sistem ini bentuk-bentuk ritual penghormatan sebagai ungkapan kebudayaan kepada alam melekat pada sistem-sistem itu.
Sonny mengingatkan, selama berabad-abad leluhur bangsa Indonesia telah menjalankan kewajiban peradabannya dan mewariskan tanah air Indonesia kepada generasi-generasi berikutnya atau dengan mensitir bahasa Bung Hatta; leluhur bangsa Indonesia telah memperbaiki bumi dan meninggalkannya dalam keadaan yang lebih baik bagi angkatan yang akan datang.
Jadi, tanah air Indonesia – tempat kita melakukan kegiatan kebudayaan di dalam lingkungan alam Indonesia – harus dilestarikan dengan didasarkan pada filosofi yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia agar kita, seperti leluhur kita, akan mewariskan tanah air ini dalam keadaan yang jauh lebih baik dari yang selama ini kita terima dari leluhur kita.
Kembali Sonny bertanya kepada hadirin “Lalu apa yang harus dilakukan?”
“Bila kaum muda Indonesia 91 tahun yang lalu bersumpah bertanah air satu, maka kaum muda sekarang harus mengembangkannya dengan bersumpah untuk melestarikan tanah air Indonesia demi kelanggengan Indonesia Raya dalam menyongsong abad-abad mendatang” Pungkas Sonny
Selain Ignatius Sonny Wyarso Amiluhur narasumber lainnya pada Peluncuran Youth Conservation Initiative Conservation yakni Ketut Sarjana Putra, Vice President Conservation International Indonesia, Jo Kumala Dewi Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kabid Perencanaan, pengelolaan SDA LH P3E Bali Nusra I Made Dwi Arbani, Maria perwakilan dari Youth Conservation Initiative.
Dialog dipandu oleh Mercya Susanto. (GR)
Sumber : Redaksi Bali