Bali merupakan salah satu pulau yang dijuluki pulau “Surga”, Karena keindahan dan keunikan masyarakat beserta alamnya yang mempesona. Keteguhan masyarakat Bali dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan luhur dan budaya yang dilestarikan turun temurun membuat Bali memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya beda dengan pulau & masyarakat lainnya dibelahan dunia manapun. Masyarakat Bali yang terkenal oleh keramahan dan kejujurannya membuat para wisatawan merasa nyaman tatkala berkunjung ke pulau kecil nan mempesona ini. Selain itu, Bali yang terkenal dengan kehidupan masyarakatnya melalui rutinitas ritual dan spiritual yang membudaya sehingga wisatawan yang merasa bosan dengan kehidupan kesehariannya yang sibuk, penuh tekanan dan stress sehingga Bali yang menawarkan keharmonisan alam dengan konsep tri hita karananya dipandanng mampu menyuguhkan ketenangan dan kebahagiaan serta rasa damai bagi pengunjungnya.
Namun dibalik keindahan alam dan keramahan masyarakatnya, terdapat cerita yang memilukan yang datang dari masyarakat karangasem. Beberapa desa yang ada di daerah Karangasem, salah staunya adalah desa Dukuh yang berada di kecamatan Kubu, Karangasem sudah lama mengalami kekeringan. Hanya pada musim hujanlah mereka bisa mendapatkan pasokan air untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka seperti minum, mandi dan lain-lain. Mereka menampung air hujan pada sebuah bak penampungan, dan hampir setiap rumah memiliki penampungan air masing-masing. Namun pada saat musim kering tiba dan air di penampungan mereka mulai mengering, mereka harus membeli air dari penyuplai air dengan harga ±Rp. 130,000. Bukanlah harga yang murah bagi mereka, dibandingkan dari penghasilan sebulan yang tidak lebih dari Rp. 400,000. Belum lagi mereka harus memenuhi kebutuhan yang lain seperti membeli bahan pangan. Mirisnya lagi, mereka rela menjual sedikit demi sedikit tanah rumah mereka karena alasan terbelit hutang. Begitu info yang saya dengar dari narasumber saya, yaitu Ibu Nyoman Sulastrini. Iya, foto diatas adalah foto beliau bersama saya dan salah satu putrinya. Beliau sebenarnya memiliki 3 orang anak, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak pertamanya sudah pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, sedangkan anak kedua dan ketiganya masih menginjak bangku sekolah dasar. Banyak hal yang saya perbincangkan dengan Ibu Nyoman Sulastrini dan tentunya saya tidak sendiri. Saya ditemani oleh dua orang teman saya yang bernama Maria Angela dan Mutiara. Kami datang ke Desa Dukuh dalam Rangka kegiatan Live In bersama YCI. YCI Bali adalah singkatan dari Youth Conservation Initiative untuk wilayah Bali. YCI Bali adalah gerakan mandiri berkelanjutan yang menyebarkan kesadaran dan solusi bagi masyarakat untuk kelestarian alam Bali melalui kader Sahabat Konservasi Hebat (SASIH). Kedepannya SASIH akan menjalankan gerakan berkelanjutan melalui kegiatan-kegiatan penyadaran lingkungan kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Melalui Program Nyegara Gunung, mampu menghasilkan beberapa produk yang meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat seperti :
- Pengolahan dari gula merah menjadi gula semut
- Pemberdayaan tanaman gembrang yang seratnya dapat dijadikan bahan untuk membuat bulu Barong
Rata-rata penduduk disana dirumahnya memiliki beberapa pohon Lontar dimana penduduk sering mencari tuak yang dihasilkan dari cairan yang berasal dari bunga lontar. Tuak tersebutlah yang selanjutnya mereka olah menjadi gula merah dan arak, diamana hal tersebut merupakan sumber utama penghasilan mereka. Selain tuak, Biasanya buah Jambu mete juga merupakan sumber penghasilan mereka, namun buah tersebut hanya berbuah pada saat musimnya saja, atau biasanya setelah musim hijan.
Banyak sekali kegiatan positif yang saya lakukan disana seperti :
- Menyiram tanaman bambu yang baru ditanam
- Membantu warga
- Mengamati proses pembuatan tuak dan arak
- Melihat Proses pembuatan gula merah
Disana saya juga sempat diperlihatkan sebuah alat yang dapat menjadi solusi untuk mengurangi sampah plastik, walau hayanya dalam jumlah yang kecil. Alat ini bernama “Pirolisis”. Alat ini dibuat oleh Pak Rody. Alat ini dapat mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Coba bayangkan, begitu banyak sampah yang ada di TPA jika kita ubah menjadi bahan bakar minyak, begitu banyak minyak yang bisa kita dapatkan. Namun, hanya ada satu permasalahan yang tentunya sangat berbahaya. Ya, asap bekas pembakaran sampah plastik tersebut sangat berbahaya jika dihirup langsung oleh manusia, namun pak Rody dapat meminimalisirnya dengan memasukan asap bekas pembakaran tersebut kedalam air, namun itu hanya dapat meminimalisir. Tetap saja ada polusi yang dihasilkan oleh alat ini. Bayangkan, jika pohon di bumi ini terus berkurang, maka kemungkinan semakin banyak carbon dioksida yang kita hirup setiap harinya.
Banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang bisa saya dapatkan setelah mengikuti kegiatan ini. Keterbatasan bukanlah suatu penghalang yang akan membuat kita menyerah. Seperti kondisi yang dialami oleh masyarakat di dukuh, mereka tak pernah menyerah atas keterbatasan yang mereka miliki, karena mereka yakin dan punya tekat untuk menghadapi keterbatasan tersebut. Disanalah saya merasa sangat bersyukur karena kehidupan saya sudah sangat layak, dan semoga suatu saat saya bisa membuat suatu projek yang akan lebih memudahkan penduduk disana. Saya sangat senang tinggal disana, warga menganggap saya seperti anaknya sendiri. Senyuman mereka yang begitu ramah membuat saya nyaman tinggal disana. Banyak teman baru, pengalaman baru, serta pemikiran baru mulai muncul. Semoga hal kecil yang saya lakukan hari ini, suatu saat bisa menjadi hal yang besar.
Oleh : Beni Suryawan (SMAN 1 Mengwi)