Home / Province of Bali / (Indonesia) Mengintip Unik Desa Dukuh melalui Kisah Hidup Warga

(Indonesia) Mengintip Unik Desa Dukuh melalui Kisah Hidup Warga

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

Sudah hampir setahun, akhirnya kami bersua kembali. Senin (8/7), saya kembali menapakkan kaki di desa, dengan hamparan pepohonan tandus yang menjulang tegar, dan udara hangat yang masih membekas dalam raga. Desa Dukuh, Dusun Bahel, Karangasem, salah satu daerah yang cukup terpencil, menyisakan beribu pertanyaan dan kisah menarik. Tak jauh berbeda dari kali terakhir saya berkunjung, sang mentari tak segan-segan memaparkan sinarnya, sampah-sampah masih menyapa di antara kebun warga, namun sambutan hangat dari para warga masih sangat kental, tak terkecuali anak-anak yang tampak asyik bersenda gurau.

Tahun ini saya berkesempatan bergabung dalam komunitas Youth Conservation Initiative, komunitas remaja peduli lingkugan, yang ditargetkan akan bergerak dalam bidang konservasi alam, terutama di daerah terpencil di Bali. Perjalanan ke Desa Dukuh, kembali ditemani oleh Conservation International Indonesia, dalam rangkaian kegiatan Live In Dukuh, pada 8 – 10 Juli 2019. Mengukuhkan kebersamaan dan menyatukan persepsi lingkungan, untuk membangun desa Dukuh yang lebih baik. Kedatangan kami disambut hangat oleh pasangan suami istri Nyoman Darma dan Luh Sasih selaku tuan rumah, diiringi pula oleh warga-warga sekitar yang dengan sumringah membantu kami menuju ke lokasi kemah. Hamparan lahan tandus cukup luas, dihiasi ilalang liar dan tumbuhan kacang-kacangan yang tampak asing. Dikelilingi pepohonan lontar yang tampak sangat tegak dan kokoh, daunnya menari tertiup angina, meyisakan bising alam yang meneduhkan hati.

Berbicara mengenai konservasi alam,  Conservation International Indonesia bersama Youth Conservation Initiative memiliki orientasi yang sama, yakni memelihara siklus air serta mempersiapkan Bali untuk menghadapi isu-isu bencana alam yang akan mendatang. Desa Dukuh, menjadi salah satu desa di Bali yang terkenal akan siklus airnya yang terhambat, sehingga mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan. Air bersih sangat sulit diperoleh di desa ini, dan hanya beberapa komoditas tumbuhan saja yang dapat bertahan di desa ini, seperti pohon lontar, pohon cendana, komak, dan pohon gebang. Desa ini sangat jarang terjangkau oleh pandangan publik, sehingga dari segi lingkungan dan infrastruktur, desa ini cukup terbelakang.

Di hari pertama, kami dibagi menjadi beberapa kelompok, dan akan diarahkan menuju beberapa rumah warga untuk mengenal lebih jauh suasana desa, serta berkegiatan bersama dengan para warga. Saya berkesempatan mengunjungi rumah Ibu Nengah Nuri, salah satu anggota PKK yang tinggal tidak jauh dari areal kemah kami. Hampir sehari penuh bersama keluarga Ibu Nuri, saya mendapat banyak cerita menarik, dan melalui Ibu Nuri lah, saya dapat mengupas Desa Dukuh lebih dalam lagi.

Nengah Nuri, seorang ibu rumah tangga berusia kepala lima, warga asli Dusun Bahel, Desa Dukuh, Karangasem. Tinggal di sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup luas, bersama suami dan tiga orang anaknya. Di desa ini, dalam satu pekarangan atau lingkungan rumah hanya terdapat satu katu keluarga saja. Anak pertama beliau telah meninggal dunia sejak usia dua tahun. Dulu, sang suami adalah seorang petani, namun kecelakaan yang dialaminya di masa silam, menyebabkannya sulit melakukan pekerjaan apapun. Kini sang suami hanya sibuk bermain tajen dan berjudi. Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang. Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Di Desa Dukuh, tradisi tajen merupakan sesuatu yang wajib dilakukan setahun sekali, dan setiap kepala rumah tangga wajib berpartisipasi. Dalam ruang lingkup kecil, tajen dilakukan secara rutin setiap sebulan sekali. Ayam yang kalah dalam pertandingan, dinamakan ‘cundang’, dan bangkai ayam ini sering diolah dan disajikan untuk makan bersama dengan warga lain. Menurut mereka, rasa yang dihadirkan ayam cundang ini, lebih lezat dari ayam pada umumnya.

Mayoritas warga Desa Dukuh memiliki ternak pribadi, seperti ternak sapi, ternak kambing, ternak ayam, dan ternak babi. Ibu Nuri sendiri, merupakan seorang ibu rumah tangga, yang tiap harinya mengurusi ternak ayam dan babinya. Sistem yang Ibu Nuri gunakan untuk ternak babinya itu adalah system bagi hasil, beliau meminjam lahan ternak kepada salah satu warga kota, dan sebagai imbalannya, hasil jual ternak tersebut akan dibagi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Selain itu, di halaman rumah Ibu Nuri terdapat pohon jambu mete yang sudah sangat tua. Biasanya, batu jambu mete ini dijual bersa kulitnya yang sudah kering kepada pengepul, satu kilogram dihargai sekitar dua puluh ribu rupiah. Beliau juga memiliki kebun singkong dan komak (kacang-kacangan), yang biasanya dijual dengan keadaan mentah atau kering, dan sering dijadikan olahan sayur untuk konsumsi sehari-hari seperti plecing komak, atau sup komak. Sayangnya, saat ini cuaca sangat tidak bersahabat di Desa Dukuh, sehingga banyak tanaman yang terhambat pertumbuhannya, dan mati. Namun, para warga rutin untuk menanam komoditas itu kembali saat musim hujan, dengan curah hujan yang tidak berlebihan.

Ibu Nuri juga memiliki salah satu komoditas yang sangat terkenal di desa ini, yaitu tumbuhan gebang. Dulu, Ibu Nuri sempat bergabung dengan komunitas tani yang dinaungi oleh ibu-ibu PKK, yang bergerak mengembangkan kreatifitas dan meningkatkan nilai jual tanaman gebang ini. Tanaman gebang biasanya diolah menjadi rambut barong atau rangda, sarana upacara yang digunakan pada tradisi tertentu. Namun oleh komunitas tani ini, tanaman gebang diolah menjadi berbagai kerajinan cantik seperti karpet, anyaman, dan lain sebagainya. Namun, setelah kelahiran anak keempatnya, Ibu Nuri mengalami kesulitan dalam membagi waktu untuk bekerja dan mengurus sang buah hati. Untuk konsumsi setiap harinya, memperoleh sembako tergolong sulit bagi Ibu Nuri, karena pasar terdekat hanya berada di daerah Tulamben, yang kurang lebih harus menempuh jarak tiga kilometer dengan sepeda motor. Warga Desa Dukuh mengonsumsi nasi singkong untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. Singkong yang sudah kering, akan dicampur dengan beras dengan takaran tertentu, kemudian ditanak bersamaan. Biasanya, warga membeli beras pada pedagang keliling atau warung-warung kecil.

Mengenai kendala terbesar di Desa Dukuh, yaitu air, masyarakat sangat kesulitan mendapatkan air bersih, karena sejak dulu, sungai-sungai telah kering, dan hutan warga pun mengalami kekeringan yang sangat besar. Saat air hujan, warga menampung air hujan dalam sebuah sumur, melalui pipa yang sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga mengalirkan air hujan dari atas atap ke penampungan. Penampungan yang dimiliki Ibu Nuri, baru berusia dua tahun. Namun sayangnya, tak setiap kepala keluarga memiliki penampungan, sehingga beberapa keluarga menumpang pada  warga lainnya. Apabila musim kemarau tiba, warga membeli air dari ‘mobil tangki air’ yang sedia datang ketika mendapat panggilan warga. Biasanya, Ibu Nuri membeli sepuluh tangki untuk persediaan kemarau yang berkepanjangan, dengan satu tangki searga seratus tiga puluh ribu rupiah, dan bertahan selama kurang lebih dua puluh hari. Air yang dibeli tersebtu, kemudian ditampung di sumur, dan digunakan untuk aktivitas memasak, konsumsi sehari-hari, dan mandi. Akibat dari kendala air tersebut, sering kali warga mengalami penyakit kulit serius, seperti gatal-gatal, kaki membusuk, atau kurap, ketika menggunakan air hujan untuk aktivitas mandi cuci kakus. Saat ini, warga masih menggunakan air tangki, karena musim hujan yang tak kunjung tiba. Cuaca di siang hari sangat panas, namun di malam hari, udara akan terasa dingin, menurut warga, cuaca dingin adalah cuaca yang ditunggu-tunggu untuk tumbuhan komak dan jambu mete berbunga. Uniknya, walaupun cuaca sangat dingin hingga menjelang subuh, di pagi hari, embun sama sekali tidak menampakkan diri di daun atau ranting tumbuhan manapun. Satu hal yang disyukuri para warga adalah,ketika musim hujan dengan curah hujan tinggi sekalipun tiba, Desa Dukuh tidak pernah mengalami kebanjiran atau tanah lonsgor.

Pelayanan masyarakat di Desa Dukuh, mendapatkan perhatian yang cukup dari aparat desa. Fasilitas pelayanan publik, seperti puskesmas, harus menempuh jarak kurang lebih lima kilometer. Warga desa tidak dipungut biaya apapun oleh aparat desa, dan mendapatakan kartu jaminan kesehatan (BPJS). Beberapa bulan sekali, warga desa mendapatkan beras dari aparat desa, dengan harga yang muarah, dan kualitas yang tidak terlalu dapat diharapkan. Untuk sector pendidikan, jarak sekolah dengan permukiman warga tergolong cukup dekat. Fasilitas yang didapatkan para siswa cukup lengkap, dengan hanya perlu membayar uang sumbangan pembinaan pendidikan, dan seragam yang dibeli secara swadaya. Mengingat kondisi lingkungan dan ekonomi Desa Dukuh, system pendidikan baru berbasis zonasi tidak diterapkan di desa ini. Anak-anak pergi ke sekolah dengan jalan kaki, dan akan diantar orang tua pada musim hujan. Dari segi adat, upacara adat di Desa Dukuh berlangsung secara massal, seperti upacara ngaben dan metatah. Di desa ini, hanya terdapat satu pura gede, dan berjarak cukup jauh dari rumah Ibu Nuri, namun dapat dipastikan, setiap rumah memiliki satu merajan.

Daerah yang terpencil, tak selamanya berkaitan dengan teknologi yang mundur. Listrik di desa ini tidak mengalami masalah. Masyarakat pun tidak kesulitan dalam berkomunikasi, karena tak jarang dari  mereka memiliki smartphone, dengan jaringan yang dapat terjangkau. Anak-anak pun tak ketinggalan, bermain permainan online yang tengah menjulang tinggi, seperti Mobile Legends. Hanya saja, apabila musim hujan, listrik dan jaringan sering mengalami kendala, seperti daerah-daerah pada umumnya. Ibu Nuri mengaku, di daerah seputarnya, jarang didatangi aparat pemerintah, komunitas pencinta lingkungan, atau golongan peneliti sekalipun.

Beberapa bulan lalu, bahkan sampai hari ini, Karangasem masih menjadi daerah yang cukup rawan, karena aktivitas erupsi Gunung Agung yang kerap terjadi. Lingkungan tempat tinggal Ibu Nuri hanya berjarak kurang lebih sembilan kilometer dari Gunung Agung. Ketika erupsi terjadi, warga Desa Dukuh pergi mengungsi ke Kantor Desa di daerah Tembok, Buleleng. Menurut pengakuan beliau, gempa bumi sangat intens terjadi, erupsi, abu vulkanik, dan hujan batu sangat keras terasa dampaknya. Bahkan, beberapa hari lalu, Gunung Agung kembali mengeluarkan asap vulkanik, yang menjangkau permukiman sekitar beliau. Hutan tandus di Desa Dukuh pun, kerap kali mengalami kebakaran, namun sangat sulit untuk ditanggulangi mengingat kondisi air yang tidak memadai.

Uraian kisah kehidupan Desa Dukuh yang dilontarkan oleh Ibu Nuri, mengungkap beribu kisah menarik, dan kilau gemilang dibalik kesulitan yang dialami desa tersebut. Para warga disana, masih saja menganggap diri mereka tidak mampu, miskin, terbelakang, bahkan beberapa orang menganggap desa tersebut terkutuk karena kesulitan air yang sulit untuk ditanggulangi. Namun yang perlu disadari adalah, beribu potensi alam tersimpan dengan apik di desa tersebut. Seperti berbagai komoditas yang bernilai jual tinggi, upacara dan tradisi adat yang memiliki nilai unik tersendiri, dan kisah keteguhan warga menjalani kehidupan di tengah kesulitan air yang mereka alami.

Ibu Nengah Nuri, adalah satu dari sekian warga yang ingin menyuarakan kisah unik Desa Dukuh. Tak hanya ingin sekedar didengarkan, namun para warga sangat mengharapkan kepedulian masyarakat dan pemerintah Bali untuk membangun lingkungan dan kehidupan mereka menjadi lebih baik lagi. Conservation International dan Youth  Conservation Intitiative, hadir diantara jutaan masyarakat Bali sebagai wadah untuk mengulurkan tangan kepada Desa Dukuh. Bukan sebagai pahlawan, namun sebagai rekan dalam membangun dan mewujudkan Desa Dukuh dan ribuan desa lainnya menuju kemakmuran seperti daerah perkotaan lainnya. Mulailah dari sekarang, selagi muda. Rawat air, sayangi lingkungan, rangkul saudara, cintai bumi tempat tinggal kita bersama.

Oleh : Mutiara Diva Ramadhani (SMAN 3 Denpasar)

Komentar

Komentar

x

Check Also

Ocean20: A New Self-Funded Marine Resource Management Framework

Initiative launched at O20 summit with up to USD $1.5 million funding commitment from Green Climate Fund to develop Blue Halo S initiative that will raise over USD $300 million in blended financing scheme. Bali, Indonesia (November 13, 2022) – The Government of Indonesia, with the support of Green Climate ...

Powered by Dragonballsuper Youtube Download animeshow