Tepatnya tanggal 8 Juli 2019, saya melakukan kegiatan Live in di Dusun Bahel, Desa Dukuh, Karangasem; bersama kawan-kawan dari Conservation International Indonesia. Awalnya sempat tidak percaya bisa terpilih menjadi salah satu peserta Live in, tapi pikir saya tidak ada salahnya mencoba; bermodalkan pengalaman yang sebelumnya pernah saya dapat, toh saya juga pernah ikut konservasi terumbu karang dan pohon cemara dulu di kota saya. Baiklah, saya coba; sembari berdoa dan menunggu. Batin saya terus mendemo semoga saja bisa terpilih katanya, karena saya sudah merasa bosan saja jika harus terus berlama-lama di kota. Semuanya terkait hal-hal monoton yang di peragakan oleh para maneken-maneken itu; yang mereka beruntung diberi nyawa oleh Tuhan.
Tuhan itu baik. Sangat baik. Tuhan selalu berhasil membuat saya jatuh cinta kepadanya, itu sebabnya jika terkadang saya dikecewakan oleh Tuhan rasanya lebih patah dari sang pecinta. Tuhan memiliki caranya sendiri untuk menghibur orang-orang yang dikasihinya. Tuhan memiliki cara sendiri untuk merawat ciptaannya, melalui orang-orang seperti mereka yang cinta akan alam dan lingkungannya; melalui mereka yang rela menempuh jarak bermil-mil jauhnya hanya untuk ikut turun tangan menebar cinta; melalui mereka yang tak pernah mengeluh perihal panas dan debu yang menerabas peliknya desa; melalui mereka yang tak pernah merasa asing dengan dinginnya malam, badai di gunung dan lagak lagamnya hutan.
Berselang satu hari, layar ponsel memanggilku untuk bersiap menuju rimba. Jelas, pengumuman Live in telah di publikasikan dan sekarang ponselku tengah menari-nari dibuatnya. Segala persiapan mulai ku siapkan. Saya bukan orang yang neko-neko, cukup apa yang paling penting dibutuhkan itu yang saya bawa: Sleeping Bag, jacket, baju seperlunya, kamera, dan buku “wajib”.
Esok harinya, Day one peserta diwajibkan kumpul di depan kantor CI, yang terletak di Jalan Dr.Muwardi No.17 Renon, Denpasar. Banyak sekali kawan-kawan baru yang datang, mayoritas anak SMA di Bali, juga ada dari Universitas Udayana, bahkan hingga dari Tidore, Kepulauan Maluku Utara, yang jelas kami membaur layaknya saudara.
Perjalanan menuju Desa Dukuh di tempuh kurang lebih sekitar 2 jam. Kami sangat menikmati perjalanannya dengan nyanyian, dan sesekali tukar bahasa. Selain itu, kami dimanjakan dengan hamparan laut, beserta gagahmya Gunung Agung yang tengah melambai ke arah saya. Semakin dekat menuju desa, jalanan mulai menyempit, sebagian pohon ada yang kering. Pada saat itu pikir saya oh mungkin ini savana yang seperti di kota saya, Taman Nasional Baluran; ternyata gersangnya tanah yang saya lihat ada sangkut pautnya dengan Desa Dukuh.
Sesampainya di sana, kami disambut dengan sangat baik oleh warga Desa Dukuh. Kami diberi pengarahan untuk rundown acara selanjutnya, yaitu kami ditugaskan untuk berbaur dengan warga atau kepala keluarga yang nantinya akan memberikan arahan bagaimana keseharian warga di Desa Dukuh, sekaligus me-wawancarai perihal krisis air yang terjadi di Desa Dukuh.
Kami dibagi empat tim yang masing-masing beranggotakan tiga orang. Saya satu tim dengan dua anak lain yang bernama Sugik, dan Mutiara yang ditugaskan untuk mengenal bagaimana keluarga tersebut. Ibu Nuri namanya, keluarga yang akan kami wawancarai. Dia adalah seorang ibu dari empat orang anak. Anak pertama meninggal, yang kedua berumur 18 tahun dan menderita cacat mental, anak ketiga masih kelas 4 SD, dan yang terakhir masih berumur tiga tahun. Kami mendengar benyak sekali kisah-kisah unik sekaligus meprihatinkan di balik Desa Dukuh. Salah satunya adalah krisis air yang dialami oleh mereka sedari dulu.
Tanah Desa Dukuh tidak selembap dulu, bahkan dikala malam pun si embun tidak pernah singgah di tanah ini. Akhirnya masyarakat di Desa Dukuh terpaksa membeli air dengan harga 130.000/tangki. “Kami biasanya membeli air dengan harga 130.000/tangki, biasanya itu untuk 15-20 hari,” ujarnya. Mayoritas warga Dusun Bahel ini memiliki ekonomi yang rendah, sehingga mau tidak mau setiap kepala keluarga harus sangat pandai mengatur kebutuhan air. Selain itu pasokan air yang selama ini mereka gunakan untuk kebutuhan pangan yaitu dari air hujan. Setiap rumah menampungnya menggunakan pipa berukuran 72 inch. Pipa-pipa tersebut disalurkan dari atap rumah menuju penampung air yang sudah disediakan oleh setiap rumah.
Selain itu, Desa Dukuh juga memiliki penampung air terbesar di ketinggian kurang lebih 400 meter; namanya embung. Kondisi embung dalam keadaan terbuka dan tidak pernah ditutup. Jadi ketika musim kemarau tiba, embung inilah yang jadi sumber pengharapan untuk menyambung hidup oleh warga Dusun Bahel. Bayangkan, ketika erupsi atau abu atau debu atau pasir yang masuk ke embung, air tersebut lah yang tetap digunakan sebagai kebutuhan pangan, baik minum maupun mandi.
Meskipun desa ini sangat terpencil dari kota Bali, Desa Dukuh juga tidak kalah indah dengan keanekaragaman hayatinya. Banyak sekali ilmu yang di dapatkan ketika bersinggah di desa ini. Tanah Desa Dukuh banyak ditumbuhi oleh pohon lontar yang setiap harinya pohon ini menghasilkan air nira atau biasa disebut dengan tuak. Tuak inilah nanti yang akan mereka fermentasi untuk dijadikan arak atau bahan utama untuk pembuatan gula aren dengan campuran Lawu.
Selain itu ada salah satu tanaman yang menarik perhatian saya yaitu tanaman Agave. Agave merupakan salah satu tanaman yang berbentuk duri, warnanya hijau pipih dan memiliki duri di setiap tepinya. Umumnya masyarakat Dusun Bahel memanfaatkan tanaman Agave sebagai matapencaharian-nya sehari-hari. Mereka memanfaatkan serat yang ada didalam tanaman tersebut untuk dijadikan sebagai rambut barong.
Seharusnya kita belajar dari Desa Dukuh sebagaimana mereka memanfaatkan lingkungan yang ada disekitar mereka untuk diolah dan diolah kembali. Tak hanya itu, mereka masih mau merawat lingkungan dan alam yang ada di sekitar mereka. Dengan bantuan dari Conservation International sekarang sudah ada komposter yang dibagikan disetiap rumah; untuk sementara masih ada 15 kepala keluarga yang mendapatkan alat komposter untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos cair, bahkan sampah plastik pun dapat di ubah menjadi bahan bakar yang setiap harinya diperlukan. Sebagian warga sudah mulai berinovasi untuk memasarkan produk-produk seperti gula semut, pula di bantu oleh CI dalam pembuatan packaging.
Pesan, kesan, sekaligus ilmu yang saya dapat dari CI dan warga Bahel merupakan satu paket spesial yang dihadiahkan kepada saya. Kita sebagai penghuni alam raya ini harusnya lebih peka terhadap alam. Kita tidak akan pernah tau alam akan berbuat apa ke depannya untuk anak cucu kita nanti. Tidak perlu melakukan sesuatu yang besar untuk bertindak merawat alam, karena melalui hal-hal kecil akan sangat bermanfaat dan besar dampaknya untuk orang-orang di sekitar kita. Seperti jangan membuang sampah sembarangan misalnya, membiasakan diri untuk bebas dari sampah plastik dengan membawa tumbler setiap hari, atau berbagi dengan sesama meski hanya dengan segaris indah yang tersemai di atas bibir: semua itu merupakan serangkaian dari hati untuk lebih peduli terhadap apa-apa yang ada di kanan-kiri kita. Jika kita ikhlas membantu tanpa membeda-bedakan siapa mereka, seperti apa rupanya, atau dimana tinggalnya atau seperti apa permasalahan mereka atau berapa banyak rupiah yang akan kita raih dari mereka yang membutuhkan, maka kitalah orang-orang yang akan selalu ditunggu-tunggu oleh mereka di masa depan, meskipun nantinya nama kita akan berupa sejarah.
“Hal besar tidak akan pernah kita raih,
jika kita abai akan hal-hal kecil yang dapat membesarkan nama-nama mimpi”
Foto Dokumentasi Live In di Desa Dukuh, Karangasem
Penulis : Vika Tri Rindiasari