Oleh Kadek Andariasih
Dusun Pekarangan yang berada di daerah perbukitan dan bebatuan yang terjal berpenagruh pada tanaman yang bisa hidup di daerah ini seperti pohon pandan. Pandan biasanya hidup dan bertahan di lahan yang kering.
Saya sebagai warga setempat mencari informasi pad Ketut Wati, pembuat tikeh (tikar) yang masih bertahan di Pekarangan. Ibu dengan dua anak kelahiran 1965 ini mengaku sejak kecil sudah bisa membuat tikar pandan. Pekerjaan ini dilakoni sampai saat ini.
Ia mengaku dengan ngulat (menganyam) pandan dengan suaminya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tikeh menurutnya sudah dibuat turun temurun di rumahnya.
Biasanya dilakukan setelah memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Setiap hari, ia bersama suaminya bisa membuat tikeh sebanyak 5 lembar. Harga per lembarRp 13 ribu untuk ukuran sekitar 1,5 x 1 meter.
Di dusun Pekarangan hampir semua ibu bisa membuat tikeh. Bagi yang tak punya lahan dia akan ke desa sekitarnya untuk membeli pandan. Biasanya ke desa terdekat seperti Tenganan dan Manggis.
Ketut Wati mengaku tidak punya kelompok pengerajin tikeh, dia hanya melakukan kegiatan sendiri di rumah masing-masing. Ia menyebut pernah ada sekali pelatihan membuat tas, sandal, dan tikeh kelase. Namun kendalanya pemasaran. Sehingga yang dibuat sekarang hanya tikeh karena masih laku di pasaran.
Pada umumnya ngulat tikeh tak hanya dilakukan ibu-ibu juga anak perempuan dari SD, SMP, dan SMA. Mereka mengisi waktu luang dengan membuat tikeh.
Seperti itulah kegiatan ibu dan anak di dusun kami agar dapat menghidupi keluarganya selain suami yang bekerja sebagai pedagang, peternak, buruh, dan lainnya. “Kalau hanya mengandalkan ngulat tikeh hdup pas-pasan. Semua anggota keluarga harus bekerja untuk menambah penghasilan,” kata Wati.