Saya adalah guru pre-school di Denpasar. Hampir setiap hari saya melihat bagaimana anak-anak berinteraksi dengan teman-teamnnya. Anak-anak diusia ini sangat tulus dan jujur. Mereka akan bermain tanpa membeda-bedakan selama itu menyenangkan bagi mereka. Anak-anak juga sering bertengkar, namun tak perlu menunggu lama, mereka akan akur, bermain kembali, dan begitu saja melupakan pertengkaran itu.
Masa anak-anak adalah masa yang baik untuk mengenal keberagaman. Mengajarkan mereka untuk mencintai budaya sendiri dan juga menghormati kebudayaan orang lain. Masa yang baik membentuk mereka untuk memperhatikan teman-temannya tidak tentang warna kulit atau rambut yang berbeda, bahasa yang berbeda, berasal dari daerah atau negara yang berbeda, melainkan tentang sikap yang harus mereka tunjukan dan terima dari teman-temanya itu.
Salah satu siswa saya bernama Addison, adalah anak yang sangat pandai berbicara dan bercerita. Ia termasuk anak yang memiliki pengetahuan yang luas untuk anak yang baru menginjak 4 tahun. Saat kami berjalan-jalan di kebun dan melihat lebah, saya bertanya padanya. “Apa manfaat lebah ini bagi manusia?” Ia akan langsung bercerita tentang betapa madu sangat bermanfaat bagi anak-anak sepertinya.
Salah satu siswa saya yang lain adalah Kadek. Kadek adalah anak dengan kasus down syndrome. Tidak seperti Addison, Kadek bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas. Karena itu, ia selalu menggunakan bahasa tubuh dan agresif saat berkomunikasi. Meski begitu, Addison sangat menyukai Kadek karena sikap baiknya. “Miss Vera, Miss Vera Kadek membantuku,”serunya ketika Kadek membantunya memakai sepatu. Addison mengatakan kepada ibunya bahwa Kadek adalah teman terbaiknya.
Pemahaman mengenai keberagaman memang sudah harus diberikan sejak dini, agar kelak mereka menjadi generasi penerus yang tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu SARA. Banyak orang-orang pintar menolak cara para calon pemimpin yang menggunakan tameng agama dalam kampanyenya, sementara pada kenyataanya cara itu selalu berhasil. Lantas siapa yang memenangkannya? Tentu para pemilihnya, masyarakat kita. Kita juga harus berkaca dari seberapa jauh kualitas masyarakat kita yang menjadi target dalam pemilu ini.
Namun jika kita berpikir lagi, kehidupan yang dihadapi anak-anak dan dewasa jelas berbeda. Masa dewasa adalah masa penuh tuntutan. Kita jelas-jelas sudah tahu sejak SD bahwa yang merebut kemerdekaan negara ini bukan hanya orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha saja. Bukan Orang Jawa, Bali, NTB, NTT, atau Papua saja. Tetapi kenapa banyak diantara kita yang masih terlihat mudah terprovokasi. Apakah benar kita memang terprovokasi, ataukah karena ada kepentingan lain? Kita juga melihat bagaimana para calon pemimpin berkampanye. Mereka terlihat sangat berwawasan,yang jelas-jelas pasti paham mengenai keberagaman negeri ini. Lantas kenapa saat berkampanye mereka mengenakan pakaian yang menunjukan identitas agama mereka? Saya rasa tidak cukup hanya dengan memahami makna keberagaman kita bisa menjadi bijaksana, kita juga harus memiliki pendidikan dan ekonomi yang baik untuk menjadi bijak dalam memilih dan bijak dalam menanggapi isu keberagaman.
Oleh : Vera Eryantini
Peserta Anugerah Jurnalisme Warga 2017