“Jangan sampai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seolah-olah mengancam eksistensi nelayan, bahkan pernah terjadi debat kusir yang membuat nelayan merasa terancam dengan adanya KKP,” ujar I Wayan Anom Astika, Bidang Konservasi Kelompok Pelestari Penyu “Kurma Asih.”
Pernyataan itu diungkapkan dalam diskusi oleh Dinas Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana, Rabu (02/10/2013). Kegiatan bertajuk “Sosialisasi Kawasan Konservasi Taman Pesisir dan Konservasi Perairan Kabupaten Jembrana” ini berlangsung di Kantor Perbekel Desa Perancak. Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana, Ir. I Made Dwi Maharimbawa, M.Si menyebutkan bahwa pertemuan ini digelar untuk menyamakan persepsi tentang wilayah pesisir. “Selain itu melalui visi bagaimana sektor kelautan dan perikanan mampu memberikan dampak positif bagi wilayah pesisir,” jelasnya. Acara diisi dengan pemaparan dari pihak Dinas Kelautan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana dan Conservation International (CI) Indonesia terkait pemetaan kawasan KKP di dua wilayah di Kabupaten Jembrana, yaitu Desa Perancak dan Desa Melaya. “Bali menjadi bagian nasional rencana ini. Bukan masalah luas dari KKP itu, ibarat rumah besar dengan keluarga yang tidak bahagia, namun mampu memberi manfaat yang jelas bagi masyarakat seperti ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan tata kelola,” papar I Made Iwan Dewantama, Bali Marine Protected Area (MPA) Network Manager CI Indonesia. Pemetaan Masalah Areal yang akan menjadi kawasan KKP di Pulau Bali dipetakan ke dalam 9 wilayah yang mencakup taman pesisir, taman bahari dan konservasi perairan. Dengan garis pantai Kabupaten Jembrana sepanjang 83.5 km, kawasan pesisir Desa Perancak diusulkan menjadi bagian dari KKP sekaligus sebagai Kawasan Konservasi Taman Pesisir.
Dalam diskusi yang dihadiri beberapa kelompok masyarakat pelaku perikanan di wilayah Perancak dan sekitarnya, permasalahan rumput laut terungkap ke permukaan. “Rumput laut sering dicabut secara sembarangan oleh nelayan sampai merusak terumbu karang. Kalau dicabuti bisa erosi, dan itu kan tempat ikan bertelur,” ungkap Ketut Somanegara, Ketua Kelompok Nelayan “Kembang Mertadana”. Hal serupa diungkapkan Perbekel Desa Perancak, I Nyoman Wijana. “Rumput laut atau bulung merupakan masalah riskan yang menimbulkan pro dan kontra,” ujar perbekel yang baru menjabat selama 4 bulan ini. Rumput laut atau bulung menjadi salah satu komoditas yang tumbuh memanfaatkan terumbu karang sebagai media. Dengan harga Rp 1,500 per kilogram membuat para nelayan tergiur untuk mengambilnya untuk dijual ke pengepul. Menurut warga bulung ini digunakan sebagai bahan baku kosmetik. Soal pencabutan bulung secara ilegal tersebut membuat Perbekel Desa Perancak nampaknya gerah. Terlebih lagi adanya oknum-oknum pejabat desa yang terlibat dalam pemungutan pajak secara ilegal kepada nelayan yang mencari bulung. “Bendesa adat tidak pernah koordinasi dengan kami. Peran utama harusnya (berada pada) bendesa adat terkait awig-awig. Kami tidak menyalahkan masyarakat. Nanti mungkin kami akan memasangi plang untuk tidak mengambil bulung di daerah yang ditumbuhi oleh bulung dan pelarangan pengambilan pasir laut,” ungkapnya.